Kamis, 30 Januari 2014

LOVE (Oneshot)



            “Egghhhrr…” aku meremas roti kejuku geram. Orang di hadapanku meringis melihat roti yang ada di tanganku seketika menjadi gepeng kubuat. Kubidik matanya tajam. Bagaimana tidak, ia benar-benar membuatku geregetan tingkat atas setiap kali ia menceritakan akan pertengkaran ia dengan kekasihnya kepadaku. “Kalau ada apa-apa jangan cerita kepadaku lagi. Aku bosan mendengarnya!”
            “Ta-tapi, aku butuh masukanmu sekarang, ..” ucapnya menahanku yang saat itu berniat bangkit dari posisiku untuk meninggalkannya.
            “Masukan apalagi? Bukannya aku sudah sering memintamu untuk memutusi saja laki-laki itu? Lalu harus berapa kali aku mengatakannya lagi, eoh? Sampai mulutku berbusa.” Sahutku. Membuat Emily menundukan kepala dengan bibir yang mengerucut. Suatu kebiasaannya setiap kali merajuk karena tidak bisa mengelak lagi ucapanku. Dia benar-benar seperti anak kecil. Padahal statusnya adalah tanteku. Lebih tua satu tahun pula dariku. Aku hanya bisa membuang wajah lalu berdecak sebal.
---
            Aku tidak pernah berpikir akan terlibat dalam hubungan rumit mereka. Bagaimana bisa aku menjadi pihak yang pusing hanya karena mengurusi kisah cinta mereka seperti ini? Sebenarnya kalau dipikir-pikir ini bukan urusanku, sih. Aku bisa angkat tangan kapan saja, lalu membiarkan Emily uring-uringan sendiri menikmati sakit hatinya yang hampir terjadi 3 kali seminggu. Tapi bagaimanapun sisi kemanusiaanku juga tetap muncul. Emily adalah tante sepermainanku. Dia adik Ibuku yang paling bungsu. Kebersamaan kami dari kecil membuat kami malah terlihat seperti adik-kakak.
            Aku bukannya tidak peduli. Malah aku sangat peduli dengan Emily. Sudah berapa kali aku mengusulkan pendapatku supaya ia memutusi Jhon segera, lalu jadian saja dengan Kakak Pelatih. Bukannya dia juga sering berhubungan dengan Kakak Pelatih beberapa minggu ini? Jika kuamat-amati mereka berdua cocok sebenarnya apabila menjadi sepasang kekasih. Kakak Pelatih jauh lebih dewasa dibandingkan dengan Jhon yang tingkahnya lebih menyebalkan daripada anak kecil. Aku yang setiap kali melihat Jhon bersikap terlalu over terhadap Emily saja selalu makan hati. Apa Emily tidak merasa jenuh jika seperti itu terus? Benar-benar pasangan aneh.
---
            “Apa? Jadi dia-”
            “Ssttt!” Emily langsung menarik leherku dengan sebelah tangannya. Sementara sebelah tangannya yang lain membekap mulutku rapat. Aku yang ingin meronta seketika menjerit tertahan di dalam cekikan lengan Emily. Kakiku kananku menginjak batu kerikil dan itu sakit sekali. “Jangan keras-keras!” bentaknya.
            Setelah beberapa kali meronta, Emily menghentikan penganiayaannya terhadapku. Aku bisa menarik nafas dalam setelahnya. Meskipun leherku mau patah akibat lengannya yang terlalu kuat. Langkahku juga limbung karenanya.  
            “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku sembari berlari seperti sedia kala. Beriringan dengan Emily yang berada di sebelah kananku tanpa mengoceh-ngoceh panjang seperti biasanya hanya karena kakinya yang terinjak batu, atau karena perutnya sakit akibat makan duluan sebelum latihan.
            “Dia yang memberitahu semalam.” Jawab Emily pelan. Aku cukup kecewa mendengarnya. Itu berarti peluang rencanaku untuk mempersatukan mereka sudah berubah gelap. Titik terang yang kuharapkan seperti semenjak pertemuan kami pada awal latihan kini redup. “Mangkanya sekarang aku tidak menghubungi Kakaknya lagi.” Lanjut Emily. Aku menoleh ke arahnya. Mencoba menelisik wajahnya di bawah pencahayaan malam yang redup.
            “Kau kecewa dengan ini?” tanyaku yang sontak membuat Emily membulatkan mata begitu mendengarnya.
            “Ti-tidak!” sahutnya, “Siapa bilang, ..”
            “Sungguh kau tidak apa-apa?” tanyaku lagi, sedikit terdengar menggoda.
            “Kau, .. apa-apaan, sih? Aku betul tidak kenapa-kenapa! Aku punya Jhon dan aku tidak mungkin berpaling darinya. Dan yang perlu kauingat, aku tidak sama sekali menaruh perasaan terhadap Kak William!” ucapnya panjang lebar.
            “Apa kau yakin dalam minggu ini kau tidak akan bertengkar lagi dengan Jhon?” Emily terdiam mendengar pertanyaanku kali ini. “Jika kenyataannya kalian masih bertengkar, maka jangan temui aku lagi sebelum kalian benar-benar putus.”
---
            “Averi… Averi…” aku menoleh begitu mendengar seseorang memanggilku dengan suara yang berbisik. Irene di ujung rak dalam lorong yang sama denganku, tengah berdiri dengan tumpukan buku yang ia dekap. Ia tersenyum sembari melambaikan tangan dan beberapa detik kemudian melangkah mendekat ke arahku. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya seraya membetulkan letak kacamata besarnya yang agak melorot ke bawah.
            “Cari bukulah, masak beli nasi goreng?” -__-
            “Nggak biasanya gitu, .. Biasanyakan tongkronganmu di atap sekolah sambil baca komik.” Ucapnya lagi yang bikin aku bergeser beberapa langkah menjauh. Jujur saja, aku tidak pernah suka dengan anak ini. Kelakuannya kalau boleh dibilang sama saja dengan sepupunya yang adalah pacar Emily. Namun sayangnya, bocah ini terus saja mengikutiku. Jika aku bergeser 5 langkah, dia juga bergeser 5 langkah ke arahku. Membuatku  hampir saja meledak memarahinya seperti ketika aku meneriakinya “bocah aneh” di lapangan saat jam pelajaran olahraga pertama. Tapi aku menahannya saat mengingat sekarang aku tengah berada di perpustakaan. Ini adalah kunjungan pertamaku soalnya, jadi aku tidak ingin meninggalkan kesan tidak baik.
            “Apa kau sudah tahu?” Irene kembali mengoceh di sampingku. Aku yang tidak ingin menghiraukannya memilih berpura-pura sibuk dengan buku. Sementara dalam hatiku berdoa agar Tuhan menurunkan utusaannya dari langit untuk mendepak bocah menyebalkan ini dari kehidupanku. Aku benar-benar sudah tidak tahan sekarang. “Kemarin aku melihat Jhon. Dia tidak seperti biasanya.”
            “Ehhem..” aku berdehem begitu menutup buku yang aku pegang dan menaruhnya kembali ke tempat. Mencoba memberi tahu bocah di dekatku itu bahwa aku tidak sama sekali tertarik dengan topik pembicaraannya. Aku pikir ini adalah salah satu cara peneguranku yang halus. Dan aku berharap sekali untuk dia tidak kembali mengeluarkan suara kalau tidak mau aku benar-benar memuntahkan semua kejengkelan yang sedari tadi kutahan mati-matian.
            “Apa kau sudah tahu sesuatu?” bisiknya lagi. Kini aku benar-benar sudah jenuh. “Mereka sudah putus, … kemarin!”
            “Apa?” pekikku tertahan, “Me-mereka siapa maksudmu?”
            “Aissh, kau ini. Jangan bicara keras-keras! Kau taukan ini perpustakaan?!” ucapnya memperingatkanku. Seandainya saja dia tidak tengah membawa info yang aku pikir cukup penting, pasti aku sudah merebahkan salah satu rak buku agar menindihinya. “Mereka siapa lagi kalau bukan Jhon dengan tante mudamu itu.”
            “Sungguh?”
---
            “Kenapa lagi?” ucapku menegur Emily yang dari tadi tidak mengubah ekspresi mukanya. Dari kemarin dia terus-terusan cemberut seperti ini. Aku tau, … putus cinta memang tidak enak. Dan sekarang Emily sedang mengalami itu. Tapi, tidak seharusnya ia seperti ini berlarut-larut. Ia sebenarnya patut bersyukur karena Tuhan menunjukkan kebenaran apa yang selama ini selalu ia tampik setiap kali aku memberitahunya. “Sudahlah, .. kau jangan terlihat lebih bodoh hanya karena namja itu. Lebih baik kau berdoa dan berterimakasih kepada Tuhan karena matamu sudah dibukakan untuk melihat bagaimana kelakukan Jhon yang sebenarnya.”
            Emile tidak menanggapi perkataanku. Dia masih saja memain-mainkan sedotan minuman di hadapannya. Sementara satu tangannya menopang wajahnya yang menekuk sedari tadi. Aku sendiri heran, kenapa Emily harus ditakdirkan menjadi tanteku?
            “Ini semua bukan karena Jhon,” suara Emily keluar setelah sedari tadi diam. Matanya masih tidak berpaling dari gelas minumannya yang sedotannya masih dimain-mainkan oleh tangannya, “Tapi ini karena—“
            “Karena?” potongku yang sudah tidak sabar dengan apa yang sebenarnya ingin Emily sampaikan.
            “Aish~ Entahlah, .. aku hanya merasa sepi akhir-akhir ini. Kakak pelatih tidak menghubungiku seperti biasanya lagi.”
            TEPAT! Apa yang aku harap-harapkan keluar dari mulut Emily akhirnya pun keluar juga. Ini menjadi lampu hijau rencanaku yang sempat menggantung nasibnya, meskipun Emily tidak menyatakannya secara langsung, tapi dari ucapannya tadi aku menjadi benar-benar yakin dengan apa sebenarnya yang ia rasakan selama ini. Aku pikir, dia memang benar-benar menyukai… menyukai.
            “Tu-tunggu!” ucapku seraya mengeluarkan handphoneku dari saku jas seragam yang kukenakan, “Sepertinya ada pesan masuk!” Emily hanya diam. Terawangannya kini beralih ke arah luar jendela. Ini kesempatan emas. Aku harus menjalankan misi pertamaku. Suara Emily akan kurekam dan lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
            PLLIPP!
---
            “Kau benar-benar tidak kenapa-kenapa kalau aku pergi duluan?” tanya Emily yang saat itu sudah menunggangi sepedanya. Aku mengangguk dengan senyum untuk meyakinkannya.
            “Sungguh. Kau pulang saja duluan. Aku mungkin agak lama di tempat temanku. Tugas kami terlalu banyak.”
            Emile menganggukan kepalanya mendengar ucapanku, “Baiklah. Kalau begitu aku pergi. Bye~”
            “Bye~” sahutku seraya melambaikan tangan. Emily sudah beberapa meter menjauh dari tempatku berdiri. Aku tersenyum puas. Ah, sebenarnya belum seharusnya puas. Karena ini baru menginjak misi kedua. Aku harap semua berjalan dengan lancar.
---
            “Kakak Pelatih…” panggilku. Seseorang yang membelakangiku dan yang sepertinya sudah siap menghidupkan sepeda motornya, menoleh ke arahku yang berada beberapa meter di belakangnya.
            “Averi. Kau masih di sini? Kenapa belum pulang?” tanyanya. Aku belum menjawab. Memilih kembali melangkah untuk mendekat ke arahnya.
            “Ada yang ingin kubicarakan,” ucapku. Kulihat Kakak Pelatih mengernyitkan keningnya sebelum benar-benar menyetujui permintaanku dengan menganggukan kepala.
---
            Kakak Pelatih tampak semakin mengeratkan jaketnya. Malam ini memang cukup dingin. Kami sekarang duduk di sebuah bangku panjang yang berada di pinggir lapangan tempat kami latihan.
            Aku merogoh handphone di dalam sakuku dan mengeluarkannya. Sementara headset putih menggantung karena sebelumnya sudah kusambungkan. Aku memencet-mencetnya sebentar. Mencari rekaman yang tadi siang berhasil kudapatkan. Lalu menyodorkan headset itu ke arah Kakak Pelatih.
            “Kau harus mendengarkannya.” Ucapku. Kakak Pelatih hanya menatap apa yang kusodorkan, tidak mengambilnya segera. “Kau cobalah dengarkan dulu, baru nanti bertanya.” Kataku lagi. Ia pun mengambilnya meskipun terlihat sedikit canggung.
            Setelah ia mengenakan headset itu ke telinganya, aku pun mulai menyetel suara rekaman Emily di handphoneku.
            5 detik…
            15 detik…
            30 detik…
---
            “Apa semua itu benar?” tanya Averi. Suara dan tatapannya terkesan benar-benar menyelidiki. Membuat orang di sampingnya ketar-ketir dalam hati karena bimbang harus menjawab bagaimana. Ia membuang wajah ke sembarang arah dengan telapak tangan yang saling bergesek-gesekan. “Apa kau memang sudah memiliki seorang, .. girlfriend?”
            William menggeleng.
            “Lalu?”
            “Aku berbohong.” Ucap William singkat. Kepalanya menunduk.
            “Untuk apa?” Averi kembali menyerangnya dengan pertanyaan yang sulit sekali untuk dia jawab.
            “Karena, ..” sahutnya terbata, “Ka-karena aku pikir hanya dengan berbohong seperti itu aku jadi tidak terlihat seperti menutupi mati-matian perasaanku selama ini.”
            ‘Konyol!’ itu kata-kata yang terbersit pertama kali di benak Averi setelah mendengar pengakuan William. Ia terkekeh pelan. Benar-benar tidak habis pikir kenapa sepanjang hidupnya harus bertemu dengan orang-orang aneh seperti mereka? Emile, William, .. mereka semua hidup dalam pemahaman yang sulit sekali ditebak dan dicerna.
            “Lalu apa yang akan kaulakukan setelah ini? Kau sudah mengetahui semuanya. Tentang perasaan Emily terhadapmu selama ini dan kau juga tidak bisa lagi berbohong dengan perasaanmu sendiri, .. Kakak Pelatih!” Averi menekankan suaranya pada akhir kalimatnya. William yang mendengar hanya bisa membuang nafas berat. Apa yang dikatakan Averi itu semua benar. Dalam hati ia mengutuk kenapa Averi hidup dengan jalan pikiran yang lebih dewasa daripada dirinya? Padahal umur mereka terbilang cukup jauh.
            “Aku harap kau tidak mengambil tindakan bodoh. Cepat ungkapkan apa yang seharusnya kauungkapkan. Kau mengerti?”
            “Tapi aku masih tidak yakin dengan perasaannya yang sebenarnya. Aku takut jika itu hanya karena ia memiliki masalah dengan Jhon, dan-“
            “Dengar! Aku ini keponakannya. Aku sudah dekat dengannya dari semenjak kami kecil. Dan aku tahu semua tentang dirinya.” Balas Averi yang membuat ucapan William terpotong dan saat itu juga bungkam tak bisa berkata-kata lagi. “Besok adalah kesempatan. Aku harap kau bisa melakukannya.”
            William tidak bergeming saat Averi menepuk pundak William layaknya seseorang yang labih tua darinya. Dengan mimik wajah yang sok-sokan dewasa. Sementara William masih sibuk berkelut dengan hatinya. Antara mengikuti ucapan bocah tengik di hadapannya itu atau tidak. Telapak tangannya terasa panas sudah karena sedari tadi ia gosok-gosokkan. Suatu kebiasaannya apabila sedang gelisah.
            “Aku pulang duluan. Kita bertemu lagi besok. Oke, Kakak Pelatih?”
---
            Malam ini cuaca cerah. Ini adalah pertemuan ke-15 kami semenjak aku dan Emily memutuskan untuk mengikuti latihan di sini. Setiap waktu yang kami lalui di tempat latihan ini semua terangkum indah dalam memori otakku dan akan menjadi sebuah kenangan yang indah.
            ‘Kau harus mengatakannya malam ini jika tidak mau minggu depan perut dan tanganmu yang menjadi sasaranku. Mengerti?’
            Aku tidak tahu pasti apakah Kak William membaca pesanku atau tidak. Yang pasti aku hanya melihat ia yang terkekeh-kekeh sendiri, lalu menoleh ke arahku sambil mengacungkan ibu jari tangan kanannya.
            Yah… Aku harap semua akan menjadi happy ending. Karena aku pikir itulah tujuan hidupku sesungguhnya. Kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita bisa membahagiakan orang-orang disekitar kita. Aku ingin Emily bahagia. Itu saja.
---
            “Emily,” suara seseorang menghentikan niatan Emily yang ingin segera mengayuh sepedanya untuk kembali pulang ke rumah. Lalu menoleh dan mendapati William berdiri di belakangnya.
            “Iya. Ke-kenapa?” tanyanya yang tidak berhasil menyembunyikan kegugupan.
            William melangkah beberapa tapak mendekat. “Ada satu pengumuman penting yang belum aku sampaikan.” Ucapnya begitu sudah berada di samping sepeda Emily.
            “Apa itu? Ke-kenapa tidak disampaikan saat penutupan tadi saja kalau itu sesuatu yang penting?”
            “Karena ini hanya menyangkut dirimu.” Sahut William yang sukses membuat Emily mengerutkan kening.
            “A-ada apa dengan aku?” tanyanya semakin gugup.
            “Kau bermasalah.” Balas William santai. Sementara Emily merasakan hawa tidak nyaman menyelimutinya. “Kau sudah membuat otakku mengalami permasalahan karena hanya memikirkan tentangmu. Dan selalu ingin berbicara mengenaimu.”
            “Maksudmu?” tanya Emily masih memasang tampang polosnya. Walaupun semburat kemerah-merahan tidak bisa ia cegah muncul di kedua belah pipinya. Ia bisa mencerna sedikit maksud perkataan itu karena ia tidak tuli dan bodoh. Tapi karena sesuatu yang membuatnya tidak yakinlah yang akhirnya menjadikan ia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan yang menuntut kepastian terhadap William.
            “Aissh~” William mendengus lirih. “Kau belum juga mengerti, eoh?” tanyanya yang dijawab Emily dengan gelengan kepala. “Baiklah! Kali ini kau harus paham!” ucap William yang setelah itu pelan-pelan mendekatkan wajahnya. Emile benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi selain hanya menikmati detak jantungnya yang semakin detik semakin berdegup kencang tak beraturan. Ia berpikir sebentar lagi ia akan mendengarkan suara Ibunya berteriak membangunkannya. Jadi ia tidak ingin terlalu berharap jauh.
            “I love you.” Namun yang ditangkap oleh telinganya malah itu, bukan teriakan Ibunya. Ya, William baru saja mendekatkan wajahnya ke telinga sebelah kanannya hanya untuk mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sebenarnya berhasil membuat Emily terenyuh beberapa saat. Seperti rohnya dicabut beberapa detik untuk sekedar melayang sejenak ke negeri kayangan. Sebelum akhirnya ia menyadari kenyataan bahwa sebenarnya ia masih di sini. Masih berada di dekat lapangan untuk mereka latihan. 
*

A Cup Of Ice Cream [Sekuel]


A Cup Of Ice Cream [Oneshot]


HEART - Chapter 2





HEART - Chapter 1



Selasa, 29 Oktober 2013

Catatan: 29 Oktober 2013

Asrama dan kost itu punya cerita masing-masing, dan aku sudah merasakan semuanya, semua manis-kecutnya, menjadi mozaik-mozaik berharga yang kukumpulkan dalam masa-masa penjelajahanku saat ini, dan sampai kapanpun nanti.

Menjadi salah satu dalam daftar anak-anak terpilih itupun aku teramat sangat bahagia. Menjadi salah satu di antara barisan saat upacara bendera di halaman sekolah tercinta. Satu tahun aku di sini, bersama-sama mereka--member exogen--menjadi tonggak berdirinya sebuah sekolah yang mendambakan ke-tawajun (keselarasan) dalam pribadi generasi-generasi penerus. Tawajun dalam jasadiyah, rohaniyah, serta fikriyahnya.

Satu tahun di sini, aku--lebih tepatnya kami-- selalu merindukan haru Jum'at. Sangat mendamba-dambakan ke datangannya. Pada hari yang penuh berkah itu, hari besar umat Islam, kami berkumpul bersama begitu usai pulang sekolah, membentuk sebuah lingkaran, mendengarkan murabbi kami membagikan ilmunya, dan pada saat itu kami merasa seperti diguyur air segar. Kami yang haus, kering, lelah, tiba-tiba kembali menemukan sumber mata air yang membawa kepuasan, kelegaan, dan kebahagiaan. Di sanalah kami, membentuk team Liqo' yang dibimbing oleh seorang murabbi cantik lagi anggun.

1 tahun berlalu...

Setelah melewati manisnya menjadi angkatan pertama, yang menjadi pusat perhatian, yang menjadi pelabuhan kasih-sayangnya Ustadz dan Ustadzah, kini kami sudah memiliki adik. Keadaan tidak lagi sepi seperti dulu, suara riuh-rendahnya mereka, menambah hangatnya suasana kekeluargaan di lingkungan penuh berkah ini.

Kini kami sudah memiliki teman untuk berjuang, teman yang bisa bersama-sama kami ajak menapaki bermacam-macam panggung perlombaan, teman yang bisa memberikan suara semangatnya begitu kami selesai menjalankan misi kami: memperkenalkan identitas kami sebagai murid-murid pilihan yang bernaung di bawah asuhan cahaya-cahaya ilmu.

Kami juga sudah memiliki banyak orang tua di sini. Tempat kami bercerita, berbagi, dan bercanda. Aku sering bercerita tentang impian-impianku ke depan kepada wali kelasku yang kami senang jika memanggilnya dengan sebutan "Mamah". Aku sangat menyukai bagaimana cara dia merespon curahan hati kami masing-masing, menanggapi sifat-sifat kami yang beragam dengan kejelian beliau mengamati pola tingkah laku anak-anak didiknya, lalu memberikan kami siraman tepat pada bagian yang kami merasa sangat kurang, merasa bahwa dengan satu hal itu kami tidak bisa menemukan dunia kami.

Aku mungkin belum bisa menjabarkan bagaimana serunya perjuangan kami untuk saat ini, tapi aku akan berusaha untuk menuliskannya kelak menjadi sejarah penting yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertas yang disampul cantik. Tentang bagaimana gemetar saat menapaki tangga panggung pencarian bakat Da'i, tentang aku yang tertidur begitu sudah menyelesaikan soal-soal astronomi, juga tentang airmata yang jatuh saat penyusunan lembar akhir makalah-makalah kami. Semuanya... aku pasti akan merindukannya kelak.

Aku bersyukur di sini... karena Allah mengizinkanku bertemu dengan mereka yang mengajarkanku bagaimana caranya melaksanakan sholat dhuha, mendekatkanku dengan Al-Qur'an, serta mengajarkanku betapa indahnya hidup dalam ke-zuhudan.

I love them coz Allah...

In Dorm, 29 Oktober 2013

Rima Ha

Minggu, 13 Oktober 2013

Cerpen: Jerit Pilu Masa Lalu Ibu



Ini sebenarnya cerpen saya udah lamaaa bangeeets. Kalo enggak salah waktu masih kelas 2 SMP, dan pada saat itu saya emang lagi produktiv-produktivnya nelurin tulisan, walaupun masih acakadul enggak kenal EYD dan sebagainya. Hehehe... But, kalo dipikir-pikir saya lebih seneng tulisan saya yang dulu malah. Dulu itu enggak ribet kayak sekarang mesti pikir panjaaang sebelum nulis, kalo dulu apa yang ada di otak langsung aja tak tuangin.
Eniwei, ini cerpen dulu pernah saya kirim dalam sebuah event di dunia maya yang sayangnya enggak jelas, dan sampe sekarang orang yang ngadain itu enggak keliatan sama sekali. So, mending saya documentasiin di blog saya aja, ya ngeramein beranda yang udah lama enggak saya bersihkan. Hahaha...

Enjoy with my story... ^^

*


            ---IBU---
            Sesekali suara jerit sakit itu keluar lirih dari mulut seorang wanita yang sedang berusaha mempertaruhkan hidup dan matinya. Urat-urat di dahinya bertimbulan. Tangannya mengepal, guna menahan rasa sakit. Butir-butir peluh yang bersembunyi di balik kulit, satu persatu keluar melalui pori-pori.
            Khotbah Jum’at menggema. Detakan jarum jam yang terus merangkak, sedikit demi sedikit hantarkan napas pada satu titik pemberhentian. Shalat Jum’at usai, pada saat itu jua tarikan napas wanita itu terhenti. Sesosok manusia yang berlindung selama 9 bulan lebih di dalam perutnya itu tak bisa keluar. Mereka pergi bersamaan dalam detik yang sama pula.
            Seorang laki-laki masuk dengan langkah tergopoh-gopoh. Peci putih yang terpajang di kepalanya, menjadi saksi bisu suasana pada saat itu. Langkahnya terhenti di  ambang pintu kamar. Ia terpaku. Senyum indah yang terukir di wajahnya, tiba-tiba hilang entah kemana.
            Ditatapnya nanar wajah wanita yang kini terbaring kaku di atas pembaringan. Aku bisa merasakan sakit itu. Sakit yang melanda batin Ayah, ketika mendapati istrinya sudah tak lagi bernyawa. Istrinya meninggal, ketika hendak melahirkan anak ketiganya tepat pada hari Jum’at.
            Pertama, aku pun tak menyangka Ibu sudah pergi. Sempat aku menghampirinya dan mengatakan aku sedang kehausan. Adik laki-lakiku yang usianya terpaut satu tahun setengah dari usiaku juga turut mengikuti perbuatanku. Dingin, itu yang kurasakan ketika menggenggam tangan Ibuku.
            Ayahku menghampiri kami. Diusapnya kepala aku dan adikku dengan lembut. Bibirnya ia gigit. Berusaha melawan rasa sakit yang menghantam batinnya tanpa ampun. Lebih pedih dari pada digores sembilu. Dan lebih sakit daripada ditikam mata belati beracun.
            Adikku melepaskan pelukannya dari tubuh Ibu yang tak kunjung bergerak. Ditatapnya wajah Ayah yang mulai digelinangi airmata.
            “Ayah, Ibu kenapa tidak bangun-bangun?” rengek Ikhsan, adikku itu kepada Ayah.
            Ayah hanya tertunduk lesu. Menyembunyikan hantaman giginya yang dahsyat menggigit bibirnya sendiri. Airmatanya semakin deras tercurah. Sekuat tenaga dia kuasai dirinya. Berusaha tak menampakan goncangan dahsyat yang melanda batinnya.
            “Ibu kenapa, Yah?” kali ini aku yang angkat bicara.
            Ayah mengangkat wajahnya. Lalu menatap kami.
            “Aih, sudahlah. Ibu tak kenapa-kenapa.” jawab Ayah dengan senyum yang menyungging di bibirnya. Lalu diusapnya lagi kepala kami. Dan sekarang aku baru mengerti senyum itu. Senyum itu adalah senyum getir yang berusaha ditampakan olehnya dalam keperihan hati yang menyiksanya.
***
            Sejak aku berumur tiga tahun, dan adikku satu setengah tahun, kami harus menerima takdir yang pahit. Takdir menjadi seorang anak piatu. Kami hidup tanpa kehadiran Ibu lagi. Ibu yang seharusnya menjadi pendidik, pemerhati, dan sebagai tempat kami menghambur dalam tangis. Menumpahkan segala keluh kesah kami.
            Sejak kejadian waktu itu, aku dan adikku hanya dibesarkan oleh Nenek dan Kakek kami. Kami besar tanpa kasih sayang sang Ibunda. Dia sudah pergi dipanggil Sang Maha Kuasa. Aku masih ingat waktu itu, ketika adikku bertanya kepada Nenek, dimanakah sekarang Ibu? Nenekku hanya menjawab, kalau Ibu kami sekarang sedang bersama Allah di surga. Lalu Nenek berpesan, agar kami selalu mendo’akan Ibu agar di sana Ibu selalu mengingat kami dan nanti bisa berkumpul bersama-sama.
            Kami besar dalam didikan Nenek. Ayahku pindah ke kampung sebelah dan tinggal bersama istri dan keluarga barunya. Kerap kali rasa iri terbit di hatiku apabila melihat teman-teman sebayaku berjalan bergandengan dengan Ibunya. Jika mau pergi ke sekolah diantar. Diperhatikan dengan sebaik-baik perhatian yang tak akan pernah bisa aku rasakan lagi dan kutemukan ketika hidup bersama Nenek.
            Kadang, aku sering terisak sendiri di balik selimut yang menutupi tubuhku. Orang-orang rumah sudah pada terlelap dan hanyut dalam mimpi masing-masing. Sedangkan aku merintih lemah dalam selimutku sambil menyebut lirih nama Ibu. Betapa rindunya aku kepada Ibu. Aku ingin Ibu ada di sampingku. Mengusap lembut rambutku, menyisirnya, mengikatnya, lalu menggandeng tanganku ketika hendak ke sekolah.
            Nyilu perasaanku hanya bisa kualihkan ketika bermain dengan teman-teman sebayaku. Itu juga tak lama. Jika kami sedang asik bermain hingga tak kenal waktu, Ibu teman-temanku satu persatu datang dan menyuruh anaknya pulang dan mandi karena hari sudah mulai petang. Sedangkan aku? Aku pulang sendiri, ketika teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing.
            Rasa hangat kembali terbit di mataku. Menjatuhkan sebutir mutiara mata, lalu merangkak pelan di pipiku. Aku berjalan dengan perasaan gontai menuju rumah. Gontai menanggung rasa iri yang tak terperikan. Di perjalanan aku terhenti sejenak. Menyaksikan pemandangan sore itu. Seorang anak yang melengkingkan suaranya tepat di depan muka Ibunya. Malah lebih keras dari suara Ibunya. Mata mereka saling bertatapan tajam. Aku menangkap warna kemerah-merahan di mata Ibunya. Mungkin amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Tapi sang anak tak menampakan wajah takut. Dia malah tambah keras menyahut perkataan Ibunya.
            “Astaghfirullah.” ucapku sambil mengelus dadaku. Kulanjutkan kembali langkahku yang sempat terhenti. Dalam langkah demi langkah kakiku, hatiku terus menggerutu. Betapa bodohnya anak yang tadi membentak Ibunya. Seharusnya dia bersyukur masih diberi waktu dan kesempatan oleh Allah untuk berbakti kepada Ibunya. Sedangkan aku? Aku sudah tak lagi ada kesempatan untuk membaktikan diriku kepada Ibuku. Aku tidak punya kesempatan untuk membanggakannya.
            Mungkin kejadian sore itu menjadi amanat tersendiri untukku. Menjadi pesan yang kelak bisa aku sampaikan kepada anak-anakku. Agar tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbakti kepada orang tuanya. Jangan sampai melukai hati mereka. Karena banyak orang-orang yang tidak bernasib seberuntung mereka. Banyak anak yang tidak punya Ibu, tidak punya Ayah, atau bahkan tidak punya Ibu dan Ayahnya. Hidup sendiri, terlunta-lunta, dan tidak ada yang memperhatikan. Dalam hati ku bersyukur, karena Allah masih menitipkan Nenek dan Kakek yang masih memperhatikan kami.
***
            Malam ini, aku dan anak bungsuku, Archika namanya duduk di kursi teras rumah. Sinar terang bulan purnama menjadi penerang malam itu. Sungai Mahakam mengalir tenang mengikuti arusnya. Sungai yang menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat desa kami. Desa terpencil nun di pedalaman Kalimantan.
            Anakku tadi siang mendapatkan piagam dari oliempiade yang diikutinya. Aku sangat bangga sekali. Aku selalu mendo’akan yang terbaik untuknya. Mendo’akan agar dia bisa menggapai cita-citanya untuk bisa lancar berbahasa Inggris dan menjadi penulis yang mampu memotivasi. Ya, aku tahu seperti apa anakku. Dia punya cita-cita yang tinggi untuk masa depannya. Aku sebagai orang tua hanya bisa mendo’akan dan menuntunnya agar tak salah jalan, serta mendidiknya agar menjadi pribadi yang baik yang tidak besar kepala kelak jika sudah menjadi orang besar. Aku berpesan kepadanya agar tidak membangkang kepada orang tua.
            "Jangan sia-siakan kesempatan, selagi orang tuamu masih ada. Sedangkan di sana, masih banyak anak-anak yang tidak bisa berbakti, karena orang tuanya sudah terlebih dahulu diambil Sang Maha Pemberi Hidup."
            Kulihat ia menundukan kepalanya. Mungkin otaknya sedang mencerna maksud ucapanku dan menanamkannya dalam hatinya. Tidak ada yang lain yang diharapkan seorang Ibunda selain keberhasilan  dan sikap patuh anaknya.
***
            ---Archika---
            "Jangan sia-siakan kesempatan, selagi orang tuamu masih ada. Sedangkan di sana, masih banyak anak-anak yang tidak bisa berbakti, karena orang tuanya sudah terlebih dahulu diambil Sang Maha Pemberi Hidup."
            Sejenak aku tertunduk. Kata-kata Ibu tertancap membekas dalam relung kalbuku. Sebutir mutiara mata yang sedari tadi kuusahakan untuk ditahan, kini merembes keluar dan satu persatu jatuh ke atas lembar piagam yang sedari tadi kugenggam dengan perasaan bangga. Piagam yang pertama kali kudapatkan, ketika mengikuti oliempiade Bahasa Inggris waktu itu.
            Entah berapa menit waktu yang tertelan dalam tundukku. Entah beberapa butir mutiara mata yang jatuh satu persatu. Akhirnya, kuangkat sedikit kepalaku yang terasa berat terpikuli seonggok beban di atasnya. Kutatap sejenak wajah Ibu. Buram. Ya, buram, karena pandanganku dihalangi cairan di mataku. Cairan itu saling berdesak-desakan, melonjak-lonjak ingin keluar.
            Kualihkan pandanganku ke depan. Sungai Mahakam menjadi saksi bisu kejadian malam itu. Ketika Ibu menceritakan betapa pilunya masalalu yang dia jalani dengan keikhlasan dalam kepedihan yang pasti sangat memerihkan rasanya. Hidup dalam rasa iri, ketika melihat teman-temannya berjalan digandeng oleh sang bunda tercinta, diusap dengan lembut kepalanya, disuapi makannya, dilengkapi segala kebutuhannya. Sedangkan Ibu? Ibuku tak pernah merasakan itu sejak berumur kurang lebih 3 tahun. Dia seorang anak piatu yang ditinggal mati Ibunya ketika hendak melahirkan adiknya yang kedua.
            Aliran sungai Mahakam tenang menuju hilir. Terus mengalir, seperti kasih sayang yang selalu Ibuku berikan. Perhatian yang tidak pernah terbagi. Nasihat yang hakikat. Kebenarannya tak bisa diganggu gugat. Ibuku adalah sosok yang penyayang. Penawar kegundahaan, pendengar yang baik, pahlawan yang paling berjasa, orang yang paling mengerti keadaan hatiku, karena darahnya mengalir ditubuhku.
            Kukembalikan pandanganku menatap wajah Ibuku. Matanya menatap nanar ke depan, ke arah Sungai Mahakam yang tepat berada di depan rumah panggung kami di pelosok tanah Kalimantan. Wajahnya mulai tampak garis-garis keriput. Pengorbanan dan kerja kerasnya membantu Ayah demi membiayai sekolah anak-anaknya tergambar lewat urat-urat tangannya yang bertimbulan. Rambut-rambut putih sedikit demi sedikit tumbuh di kepalanya. Semua pengorbanan itu, tak cukuplah jika hanya dibayar dengan prestasi demi prestasi yang kuraih selama ini. Tak akan pernah sebanding dengan piagam dalam genggamanku sekarang. Tak akan pernah terbayar dengan ranking demi ranking yang kuraih selama duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Tak akan pernah lunas itu, dan tak akan pernah bisa dilunasi.
            Ibu, tak akan kusia-siakan waktu yang diberikan Allah untuk kita bersama. Aku akan berusaha sekuat tenaga dan sekuat kemampuanku meraih apa yang aku cita-citakan demi membanggakanmu. Meski kutahu, itu tak akan pernah bisa membayar semua ketulusanmu. Tapi, setidaknya bisa membanggakanmu adalah keindahan tersendiri dalam benakku. Biarlah Allah yang mengganti semuanya dengan kebahagian yang ia tujukan untukmu. Seperti do'aku dalam setiap sholatku.
***