“Egghhhrr…”
aku meremas roti kejuku geram. Orang di hadapanku meringis melihat roti yang
ada di tanganku seketika menjadi gepeng kubuat. Kubidik matanya tajam. Bagaimana
tidak, ia benar-benar membuatku geregetan tingkat atas setiap kali ia
menceritakan akan pertengkaran ia dengan kekasihnya kepadaku. “Kalau ada
apa-apa jangan cerita kepadaku lagi. Aku bosan mendengarnya!”
“Ta-tapi,
aku butuh masukanmu sekarang, ..” ucapnya menahanku yang saat itu berniat
bangkit dari posisiku untuk meninggalkannya.
“Masukan
apalagi? Bukannya aku sudah sering memintamu untuk memutusi saja laki-laki itu?
Lalu harus berapa kali aku mengatakannya lagi, eoh? Sampai mulutku berbusa.”
Sahutku. Membuat Emily menundukan kepala dengan bibir yang mengerucut. Suatu
kebiasaannya setiap kali merajuk karena tidak bisa mengelak lagi ucapanku. Dia
benar-benar seperti anak kecil. Padahal statusnya adalah tanteku. Lebih tua
satu tahun pula dariku. Aku hanya bisa membuang wajah lalu berdecak sebal.
---
Aku
tidak pernah berpikir akan terlibat dalam hubungan rumit mereka. Bagaimana bisa
aku menjadi pihak yang pusing hanya karena mengurusi kisah cinta mereka seperti
ini? Sebenarnya kalau dipikir-pikir ini bukan urusanku, sih. Aku bisa angkat tangan kapan saja, lalu membiarkan Emily
uring-uringan sendiri menikmati sakit hatinya yang hampir terjadi 3 kali
seminggu. Tapi bagaimanapun sisi kemanusiaanku juga tetap muncul. Emily adalah
tante sepermainanku. Dia adik Ibuku yang paling bungsu. Kebersamaan kami dari
kecil membuat kami malah terlihat seperti adik-kakak.
Aku
bukannya tidak peduli. Malah aku sangat peduli dengan Emily. Sudah berapa kali
aku mengusulkan pendapatku supaya ia memutusi Jhon segera, lalu jadian saja
dengan Kakak Pelatih. Bukannya dia juga sering berhubungan dengan Kakak Pelatih
beberapa minggu ini? Jika kuamat-amati mereka berdua cocok sebenarnya apabila
menjadi sepasang kekasih. Kakak Pelatih jauh lebih dewasa dibandingkan dengan
Jhon yang tingkahnya lebih menyebalkan daripada anak kecil. Aku yang setiap
kali melihat Jhon bersikap terlalu over
terhadap Emily saja selalu makan hati. Apa Emily tidak merasa jenuh jika
seperti itu terus? Benar-benar pasangan aneh.
---
“Apa?
Jadi dia-”
“Ssttt!”
Emily langsung menarik leherku dengan sebelah tangannya. Sementara sebelah
tangannya yang lain membekap mulutku rapat. Aku yang ingin meronta seketika
menjerit tertahan di dalam cekikan lengan Emily. Kakiku kananku menginjak batu
kerikil dan itu sakit sekali. “Jangan keras-keras!” bentaknya.
Setelah
beberapa kali meronta, Emily menghentikan penganiayaannya terhadapku. Aku bisa
menarik nafas dalam setelahnya. Meskipun leherku mau patah akibat lengannya
yang terlalu kuat. Langkahku juga limbung karenanya.
“Bagaimana
kau bisa tahu?” tanyaku sembari berlari seperti sedia kala. Beriringan dengan
Emily yang berada di sebelah kananku tanpa mengoceh-ngoceh panjang seperti
biasanya hanya karena kakinya yang terinjak batu, atau karena perutnya sakit
akibat makan duluan sebelum latihan.
“Dia
yang memberitahu semalam.” Jawab Emily pelan. Aku cukup kecewa mendengarnya.
Itu berarti peluang rencanaku untuk mempersatukan mereka sudah berubah gelap.
Titik terang yang kuharapkan seperti semenjak pertemuan kami pada awal latihan
kini redup. “Mangkanya sekarang aku tidak menghubungi Kakaknya lagi.” Lanjut
Emily. Aku menoleh ke arahnya. Mencoba menelisik wajahnya di bawah pencahayaan
malam yang redup.
“Kau
kecewa dengan ini?” tanyaku yang sontak membuat Emily membulatkan mata begitu
mendengarnya.
“Ti-tidak!”
sahutnya, “Siapa bilang, ..”
“Sungguh
kau tidak apa-apa?” tanyaku lagi, sedikit terdengar menggoda.
“Kau,
.. apa-apaan, sih? Aku betul tidak kenapa-kenapa! Aku punya Jhon dan aku tidak
mungkin berpaling darinya. Dan yang perlu kauingat, aku tidak sama sekali
menaruh perasaan terhadap Kak William!” ucapnya panjang lebar.
“Apa
kau yakin dalam minggu ini kau tidak akan bertengkar lagi dengan Jhon?” Emily
terdiam mendengar pertanyaanku kali ini. “Jika kenyataannya kalian masih
bertengkar, maka jangan temui aku lagi sebelum kalian benar-benar putus.”
---
“Averi…
Averi…” aku menoleh begitu mendengar seseorang memanggilku dengan suara yang
berbisik. Irene di ujung rak dalam lorong yang sama denganku, tengah berdiri
dengan tumpukan buku yang ia dekap. Ia tersenyum sembari melambaikan tangan dan
beberapa detik kemudian melangkah mendekat ke arahku. “Apa yang kaulakukan di
sini?” tanyanya seraya membetulkan letak kacamata besarnya yang agak melorot ke
bawah.
“Cari
bukulah, masak beli nasi goreng?” -__-
“Nggak
biasanya gitu, .. Biasanyakan tongkronganmu di atap sekolah sambil baca komik.”
Ucapnya lagi yang bikin aku bergeser beberapa langkah menjauh. Jujur saja, aku
tidak pernah suka dengan anak ini. Kelakuannya kalau boleh dibilang sama saja
dengan sepupunya yang adalah pacar Emily. Namun sayangnya, bocah ini terus saja
mengikutiku. Jika aku bergeser 5 langkah, dia juga bergeser 5 langkah ke
arahku. Membuatku hampir saja meledak
memarahinya seperti ketika aku meneriakinya “bocah aneh” di lapangan saat jam
pelajaran olahraga pertama. Tapi aku menahannya saat mengingat sekarang aku tengah
berada di perpustakaan. Ini adalah kunjungan pertamaku soalnya, jadi aku tidak
ingin meninggalkan kesan tidak baik.
“Apa
kau sudah tahu?” Irene kembali mengoceh di sampingku. Aku yang tidak ingin
menghiraukannya memilih berpura-pura sibuk dengan buku. Sementara dalam hatiku
berdoa agar Tuhan menurunkan utusaannya dari langit untuk mendepak bocah menyebalkan
ini dari kehidupanku. Aku benar-benar sudah tidak tahan sekarang. “Kemarin aku
melihat Jhon. Dia tidak seperti biasanya.”
“Ehhem..”
aku berdehem begitu menutup buku yang aku pegang dan menaruhnya kembali ke
tempat. Mencoba memberi tahu bocah di dekatku itu bahwa aku tidak sama sekali
tertarik dengan topik pembicaraannya. Aku pikir ini adalah salah satu cara
peneguranku yang halus. Dan aku berharap sekali untuk dia tidak kembali
mengeluarkan suara kalau tidak mau aku benar-benar memuntahkan semua kejengkelan
yang sedari tadi kutahan mati-matian.
“Apa
kau sudah tahu sesuatu?” bisiknya lagi. Kini aku benar-benar sudah jenuh. “Mereka
sudah putus, … kemarin!”
“Apa?”
pekikku tertahan, “Me-mereka siapa maksudmu?”
“Aissh,
kau ini. Jangan bicara keras-keras! Kau taukan ini perpustakaan?!” ucapnya
memperingatkanku. Seandainya saja dia tidak tengah membawa info yang aku pikir
cukup penting, pasti aku sudah merebahkan salah satu rak buku agar
menindihinya. “Mereka siapa lagi kalau bukan Jhon dengan tante mudamu itu.”
“Sungguh?”
---
“Kenapa
lagi?” ucapku menegur Emily yang dari tadi tidak mengubah ekspresi mukanya.
Dari kemarin dia terus-terusan cemberut seperti ini. Aku tau, … putus cinta
memang tidak enak. Dan sekarang Emily sedang mengalami itu. Tapi, tidak
seharusnya ia seperti ini berlarut-larut. Ia sebenarnya patut bersyukur karena
Tuhan menunjukkan kebenaran apa yang selama ini selalu ia tampik setiap kali
aku memberitahunya. “Sudahlah, .. kau jangan terlihat lebih bodoh hanya karena
namja itu. Lebih baik kau berdoa dan berterimakasih kepada Tuhan karena matamu
sudah dibukakan untuk melihat bagaimana kelakukan Jhon yang sebenarnya.”
Emile
tidak menanggapi perkataanku. Dia masih saja memain-mainkan sedotan minuman di
hadapannya. Sementara satu tangannya menopang wajahnya yang menekuk sedari
tadi. Aku sendiri heran, kenapa Emily harus ditakdirkan menjadi tanteku?
“Ini
semua bukan karena Jhon,” suara Emily keluar setelah sedari tadi diam. Matanya
masih tidak berpaling dari gelas minumannya yang sedotannya masih
dimain-mainkan oleh tangannya, “Tapi ini karena—“
“Karena?”
potongku yang sudah tidak sabar dengan apa yang sebenarnya ingin Emily
sampaikan.
“Aish~
Entahlah, .. aku hanya merasa sepi akhir-akhir ini. Kakak pelatih tidak
menghubungiku seperti biasanya lagi.”
TEPAT!
Apa yang aku harap-harapkan keluar dari mulut Emily akhirnya pun keluar juga.
Ini menjadi lampu hijau rencanaku yang sempat menggantung nasibnya, meskipun Emily
tidak menyatakannya secara langsung, tapi dari ucapannya tadi aku menjadi
benar-benar yakin dengan apa sebenarnya yang ia rasakan selama ini. Aku pikir,
dia memang benar-benar menyukai… menyukai.
“Tu-tunggu!”
ucapku seraya mengeluarkan handphoneku dari saku jas seragam yang kukenakan,
“Sepertinya ada pesan masuk!” Emily hanya diam. Terawangannya kini beralih ke
arah luar jendela. Ini kesempatan emas. Aku harus menjalankan misi pertamaku.
Suara Emily akan kurekam dan lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
PLLIPP!
---
“Kau
benar-benar tidak kenapa-kenapa kalau aku pergi duluan?” tanya Emily yang saat
itu sudah menunggangi sepedanya. Aku mengangguk dengan senyum untuk
meyakinkannya.
“Sungguh.
Kau pulang saja duluan. Aku mungkin agak lama di tempat temanku. Tugas kami
terlalu banyak.”
Emile
menganggukan kepalanya mendengar ucapanku, “Baiklah. Kalau begitu aku pergi.
Bye~”
“Bye~”
sahutku seraya melambaikan tangan. Emily sudah beberapa meter menjauh dari
tempatku berdiri. Aku tersenyum puas. Ah, sebenarnya belum seharusnya puas.
Karena ini baru menginjak misi kedua. Aku harap semua berjalan dengan lancar.
---
“Kakak
Pelatih…” panggilku. Seseorang yang membelakangiku dan yang sepertinya sudah
siap menghidupkan sepeda motornya, menoleh ke arahku yang berada beberapa meter
di belakangnya.
“Averi.
Kau masih di sini? Kenapa belum pulang?” tanyanya. Aku belum menjawab. Memilih
kembali melangkah untuk mendekat ke arahnya.
“Ada
yang ingin kubicarakan,” ucapku. Kulihat Kakak Pelatih mengernyitkan keningnya
sebelum benar-benar menyetujui permintaanku dengan menganggukan kepala.
---
Kakak
Pelatih tampak semakin mengeratkan jaketnya. Malam ini memang cukup dingin.
Kami sekarang duduk di sebuah bangku panjang yang berada di pinggir lapangan
tempat kami latihan.
Aku
merogoh handphone di dalam sakuku dan mengeluarkannya. Sementara headset putih
menggantung karena sebelumnya sudah kusambungkan. Aku memencet-mencetnya
sebentar. Mencari rekaman yang tadi siang berhasil kudapatkan. Lalu menyodorkan
headset itu ke arah Kakak Pelatih.
“Kau
harus mendengarkannya.” Ucapku. Kakak Pelatih hanya menatap apa yang kusodorkan,
tidak mengambilnya segera. “Kau cobalah dengarkan dulu, baru nanti bertanya.”
Kataku lagi. Ia pun mengambilnya meskipun terlihat sedikit canggung.
Setelah
ia mengenakan headset itu ke telinganya, aku pun mulai menyetel suara rekaman
Emily di handphoneku.
5
detik…
15
detik…
30
detik…
---
“Apa
semua itu benar?” tanya Averi. Suara dan tatapannya terkesan benar-benar
menyelidiki. Membuat orang di sampingnya ketar-ketir dalam hati karena bimbang
harus menjawab bagaimana. Ia membuang wajah ke sembarang arah dengan telapak
tangan yang saling bergesek-gesekan. “Apa kau memang sudah memiliki seorang, ..
girlfriend?”
William
menggeleng.
“Lalu?”
“Aku
berbohong.” Ucap William singkat. Kepalanya menunduk.
“Untuk
apa?” Averi kembali menyerangnya dengan pertanyaan yang sulit sekali untuk dia
jawab.
“Karena,
..” sahutnya terbata, “Ka-karena aku pikir hanya dengan berbohong seperti itu
aku jadi tidak terlihat seperti menutupi mati-matian perasaanku selama ini.”
‘Konyol!’
itu kata-kata yang terbersit pertama kali di benak Averi setelah mendengar
pengakuan William. Ia terkekeh pelan. Benar-benar tidak habis pikir kenapa
sepanjang hidupnya harus bertemu dengan orang-orang aneh seperti mereka? Emile,
William, .. mereka semua hidup dalam pemahaman yang sulit sekali ditebak dan
dicerna.
“Lalu
apa yang akan kaulakukan setelah ini? Kau sudah mengetahui semuanya. Tentang
perasaan Emily terhadapmu selama ini dan kau juga tidak bisa lagi berbohong
dengan perasaanmu sendiri, .. Kakak Pelatih!” Averi menekankan suaranya pada
akhir kalimatnya. William yang mendengar hanya bisa membuang nafas berat. Apa
yang dikatakan Averi itu semua benar. Dalam hati ia mengutuk kenapa Averi hidup
dengan jalan pikiran yang lebih dewasa daripada dirinya? Padahal umur mereka
terbilang cukup jauh.
“Aku
harap kau tidak mengambil tindakan bodoh. Cepat ungkapkan apa yang seharusnya
kauungkapkan. Kau mengerti?”
“Tapi
aku masih tidak yakin dengan perasaannya yang sebenarnya. Aku takut jika itu
hanya karena ia memiliki masalah dengan Jhon, dan-“
“Dengar!
Aku ini keponakannya. Aku sudah dekat dengannya dari semenjak kami kecil. Dan
aku tahu semua tentang dirinya.” Balas Averi yang membuat ucapan William
terpotong dan saat itu juga bungkam tak bisa berkata-kata lagi. “Besok adalah
kesempatan. Aku harap kau bisa melakukannya.”
William
tidak bergeming saat Averi menepuk pundak William layaknya seseorang yang labih
tua darinya. Dengan mimik wajah yang sok-sokan dewasa. Sementara William masih
sibuk berkelut dengan hatinya. Antara mengikuti ucapan bocah tengik di
hadapannya itu atau tidak. Telapak tangannya terasa panas sudah karena sedari
tadi ia gosok-gosokkan. Suatu kebiasaannya apabila sedang gelisah.
“Aku
pulang duluan. Kita bertemu lagi besok. Oke, Kakak Pelatih?”
---
Malam
ini cuaca cerah. Ini adalah pertemuan ke-15 kami semenjak aku dan Emily
memutuskan untuk mengikuti latihan di sini. Setiap waktu yang kami lalui di
tempat latihan ini semua terangkum indah dalam memori otakku dan akan menjadi
sebuah kenangan yang indah.
‘Kau
harus mengatakannya malam ini jika tidak mau minggu depan perut dan tanganmu
yang menjadi sasaranku. Mengerti?’
Aku
tidak tahu pasti apakah Kak William membaca pesanku atau tidak. Yang pasti aku
hanya melihat ia yang terkekeh-kekeh sendiri, lalu menoleh ke arahku sambil
mengacungkan ibu jari tangan kanannya.
Yah…
Aku harap semua akan menjadi happy ending.
Karena aku pikir itulah tujuan hidupku sesungguhnya. Kebahagiaan yang sejati
adalah ketika kita bisa membahagiakan orang-orang disekitar kita. Aku ingin
Emily bahagia. Itu saja.
---
“Emily,”
suara seseorang menghentikan niatan Emily yang ingin segera mengayuh sepedanya
untuk kembali pulang ke rumah. Lalu menoleh dan mendapati William berdiri di
belakangnya.
“Iya.
Ke-kenapa?” tanyanya yang tidak berhasil menyembunyikan kegugupan.
William
melangkah beberapa tapak mendekat. “Ada satu pengumuman penting yang belum aku
sampaikan.” Ucapnya begitu sudah berada di samping sepeda Emily.
“Apa
itu? Ke-kenapa tidak disampaikan saat penutupan tadi saja kalau itu sesuatu
yang penting?”
“Karena
ini hanya menyangkut dirimu.” Sahut William yang sukses membuat Emily
mengerutkan kening.
“A-ada
apa dengan aku?” tanyanya semakin gugup.
“Kau
bermasalah.” Balas William santai. Sementara Emily merasakan hawa tidak nyaman
menyelimutinya. “Kau sudah membuat otakku mengalami permasalahan karena hanya
memikirkan tentangmu. Dan selalu ingin berbicara mengenaimu.”
“Maksudmu?”
tanya Emily masih memasang tampang polosnya. Walaupun semburat kemerah-merahan
tidak bisa ia cegah muncul di kedua belah pipinya. Ia bisa mencerna sedikit
maksud perkataan itu karena ia tidak tuli dan bodoh. Tapi karena sesuatu yang
membuatnya tidak yakinlah yang akhirnya menjadikan ia memutuskan untuk
mengajukan pertanyaan yang menuntut kepastian terhadap William.
“Aissh~”
William mendengus lirih. “Kau belum juga mengerti, eoh?” tanyanya yang dijawab
Emily dengan gelengan kepala. “Baiklah! Kali ini kau harus paham!” ucap William
yang setelah itu pelan-pelan mendekatkan wajahnya. Emile benar-benar tidak tahu
harus bagaimana lagi selain hanya menikmati detak jantungnya yang semakin detik
semakin berdegup kencang tak beraturan. Ia berpikir sebentar lagi ia akan
mendengarkan suara Ibunya berteriak membangunkannya. Jadi ia tidak ingin
terlalu berharap jauh.
“I
love you.” Namun yang ditangkap oleh telinganya malah itu, bukan teriakan
Ibunya. Ya, William baru saja mendekatkan wajahnya ke telinga sebelah kanannya
hanya untuk mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sebenarnya berhasil membuat
Emily terenyuh beberapa saat. Seperti rohnya dicabut beberapa detik untuk
sekedar melayang sejenak ke negeri kayangan. Sebelum akhirnya ia menyadari
kenyataan bahwa sebenarnya ia masih di sini. Masih berada di dekat lapangan
untuk mereka latihan.
*